Rabu, 11 Januari 2012

STRATEGI KOMUNIKASI

oleh: A. Fakih Kurniawan
Pendahuluan
Sejak munculnya era televisi, acara-acara keagamaan di media elektronik juga ikut menyemarakkan acara dengan ragam wajah dan model yang variatif yang disajikkan oleh para pemeluknya. Tetapi idealisasi yang diharapkan dari agama-agama belum dapat dinikmati, apalagi dibanggakan sebagai pembawa rahmat dan pembangun peradaban besar. Inilah fenomena yang harus dicermati, dipelajari dan dipecahkan bersama oleh segenap pemeluk agama. Tugas besar orang-orang beragama adalah mendekatkan dan merekatkan kenyataan dengan nilai-nilai luhur yang dikandung oleh masing-masing ajaran agama.

Saat ini kita sedang berhadapan dan berada dalam arus globalisasi. Proses perubahan berlangsung begitu cepat dan jawaban selalu jauh tertinggal di belakang. Oleh karena itu, mau tidak mau peran-peran keagamaan perlu ditinjau ulang dan direvitalisasi. Sebab di tengah gempuran modernisasi dan globalisasi yang berlangsung sangat cepat dan sulit ditebak arahnya itu orang masih tetap percaya dan berharap pada agama (dalam segala bentuknya) untuk tampil menghadapi dan memecahkan masalah yang ditimbulkannya. Kalau saja dipersonifikasikan, sosok agama itu diharapkan tampil bagaikan "Superman" yang mempu membuat keajaiban untuk mencari penyelesaian seketika di luar hukum-hukum sosial. Salah satu media agama yang dapat menjembatani krisis tersebut adalah dakwah, tetapi perlu diperhatikan bahwa dakwah disini bukanlah dakwah dalam pengertian sempit (da'wah bi al-lisan) tetapi juga menyangkut dakwah amal (da'wah bi al-hal), dakwah seni, dakwah intelektual, dakwah budaya dan dakwah-dakwah lainnya yang bertujuan mengajak untuk hidup yang lebih baik aplikatif dan sesuai dengan ajaran Islam.

Dalam sebuah bukunya, Komaruddin Hidayat, menceritakan pengalaman hidupnya selama menjadi mahasiswa IAIN Jakarta. Salah satu hal yang diceritakannya adalah ketika ia menjadi penceramah, setiap kali ia menjadi penceramah ia mendapatkan honor berupa uang. "…dari peristiwa ini saya berpikir, bahwa sesungguhnya masyarakat Jakarta memiliki perhatian yang besar pada syiar agama", kenangnya.[1] Satu hal yang patut dipotret dari pengalaman tersebut bahwa proses dakwah terus berjalan berkelindan mengikuti sebuah kebutuhan manusia akan kehausan nilai agama (jika tidak dikatakan moralitas dan spiritualitas!).

Dari kondisi seperti itulah maka dakwah bukanlah kegiatan yang ajek atau rigid dengan metode penyampaian doktriner an sich, tetapi ia merupakan kegiatan yang dinamis mengikuti kondisi dan realitas yang terus berubah namun tetap menjaga normatifitas pesan. Karena itulah wajar jika sekarang bertebaran para da'i bak jamur di musim hujan dengan "menawarkan" metode masing-masing secara unik.

Dakwah merupakan aktualisasi atau realisasi salah satu fungsi kodrati seorang muslim, yaitu fungsi kerisalahan berupa proses pengkondisian agar seseorang atau masyarakat mengetahui, memahami, mengimani dan mengamalkan Islam sebagai ajaran dan pandangan hidup (way of life).[2] Dus, hakikat dakwah adalah suatu upaya untuk merubah suatu keadaan menjadi keadaan lain yang lebih baik menurut tolok ukur ajaran Islam sehingga seseorang atau masyarakat mengamalkan Islam sebagai ajaran dan pandangan hidup. Dengan kata lain tujuan dakwah, setidaknya bisa dikatakan, untuk mempertemukan kembali fitrah manusia dengan agama atau menyadarkan manusia supaya mengakui kebenaran Islam dan mengamalkan ajaran Islam sehingga benar-benar terwujud kesalehan hidup.[3]

Ketika dakwah dinilai sebagai media transformasi nilai serta ajaran Islam, maka sesungguhnya ia telah masuk dalam sebuah ranah khusus yaitu agama. Setiap agama memiliki nilai serta ajaran yang baik – setidaknya oleh para pengikutnya - dan memiliki kecenderungan mentransformasikan ajaran tersebut agar diikuti oleh orang lain, maka dapat ditebak bahwa akan ada sebuah pergulatan "penyeruan". Maka dakwah merupakan satu bagian yang pasti ada dalam kehidupan umat beragama.[4] Dalam tradisi Kristen "penyeruan" itu biasa disebut dengan missionary atau kristenisasi, sedangkan dalam Islam adalah dakwah. Dalam Islam, dakwah bukan hanya media yang bertujuan untuk memperbanyak pengikut, tetapi juga sejatinya merupakan kegiatan untuk memperbanyak orang yang sadar akan kebenaran Islam dan selanjutnya mengamalkan ajaran tersebut, karena itu dakwah harus dilandasi dengan cinta kasih[5] pada sesama manusia untuk menyelamatkan sesama manusia dari berbagai penderitaan, kesesatan dan keterbelakangan.

Konstruksi Filosofis Dakwah
Pada hakikatnya, gerakan dakwah Islam berporos pada amar ma'ruf nahy munkar.[6] Ma'ruf mampunyai pengertian segala perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah awt. sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan diri dari pada-Nya. Pada dataran amar ma'ruf, siapapun bisa melakukannya, pasalnya kalau hanya sekadar "menyuruh" kepada kebaikan itu mudah dan tidak ada resiko bagi di "penyuruh". Lain halnya dengan nahy munkar, jelas mengandung konsekuensi logis dan beresiko bagi yang melakukannya. Karena "mencegah kemungkaran" itu melakukannya dengan tindakan konkret, nyata dan dilakukan atas dasar kesadaran tinggi dalam rangka menegakkan kebenaran. Oleh karena itu, ia harus berhadapan secara vis a vis dengan obyek yang melakukan tindak kemungkaran itu.

Inilah sesungguhnya cikal bakal perintah dakwah yang diwajibkan oleh Allah swt. pada setiap pribadi seorang muslim yang mengaku beriman. Oleh karena itu, peran para nabi dan rasul sesungguhnya diutus oleh Allah saw. untuk menyampaikan kebenaran firman-Nya melalui dakwah yang disampaikan dan sekaligus memberikan tuntutan kebaikan kepada manusia untuk selalu konsisten dan istiqamah dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Pun demikian, istilah dakwah sendiri jika tidak dilandasi dengan struktur fundamental yang jelas, pengertiannya akan menjadi semakin kabur karena selalu diberi pengertian dengan konotasi dan denotasi yang pasti baik dan positif. Padahal, perlu dijelaskan secara rinci mengenai apa makna literer dari dakwah itu. Kalau pengertian dakwah secara asal bahasanya itu "panggilan", lalu panggilan kemana? Atau untuk apa?

Penjelasan rinci tersebut tetap diperlukan, karena kalau tidak, dakwah hanya akan menjadi prevellese bagi orang-orang tertentu, dan dengan gaya serta jabatan tertentu pula. Misalnya saja pelakunya dibungkus status quo dengan sebutan da'i atau muballigh yang seringkali oleh masyarakat awam atau pada umumnya menempatkannya pada maqam tertinggi, yakni sebagai acuan dalam berpikir dan bertindak, atau bahkan sampai di tingkat ma'sum yang taken for granted.

Pelembagaan (jika tidak dikatakan patronase) dakwah secara monopoli inilah yang mengakibatkan bergesernya kualitas rohaniah-intelektual ke status sosial dan simbol budaya semata. Di sinilah maka dakwah kemudian menjadi kering dan seringkali tidak sampai pada sasaran yang dimaksud.[7] Karenanya wajar jika ada pertanyaaan, mengapa konsep dakwah Islam tidak begitu "menggigit" atau mengakar kuat sebagai basis metodologis dalam aplikasi terapannya?

Pertanyaan tersebut seharusnya tidak perlu muncul manakala pembekalan dan penguatan secara konseptual–metodologis mendapat tempat layak dalam wilayah akademiknya. Artinya, dataran konseptual harus diberi prioritas utama sebelum aplikasi di lapangan itu diterapkan. Selanjutnya memberikan porsi akademik kepada pentingnya otonomi berpikir[8] manusia sebagai basis dan kemampuannya untuk menangkap realitas di sekelilingnya, sebagai wacana yang akan terus berkembang yang sifatnya paradigmatik dan akan diuji di wilayah publik. Hal ini perlu mendapat perhatian serius, karena bagaimanapun juga para da'i atau muballigh adalah orang yang secara langsung berhadapan dengan individu atau bahkan komunitas masyarakat banyak dan terpadu, dan oleh karenanya diperlukan bekal akademik sebagai basis intelektual agar mampu memprediksi dan sekaligus memahami realitas yang terus berkembang tanpa harus bersikap apologetik sebagaimana tradisi dakwah pada masa abad pertengahan. Dengan demikian, maka wacana konseptual sebagai basis metodologisnya tidak harus dipahami dan dipandang sinis sebagai entitas mengawang di atas tanpa kaki, tidak membumi.[9]

Karenanya, dakwah saat ini harus dilandasi oleh dasar filosofis-epistemologis yang kuat, jika tidak maka akan menyebabkan pemahaman dakwah (Islam) menjadi dangkal dan bahkan menyebabkan penganutnya terjebak ke dalam formalisme dan fanatisme sempit, sebaliknya, pemahaman dakwah yang dilandasi filosofis-epistemologis akan mengantarkan dakwah pada pemahaman yang bersifat esensial dan mendalam, sehingga terhindar dari konflik yang diakibatkan oleh banyak isme atau aliran yang berkembang.

Efektivitas Dakwah
Manifestasi dakwah Islam dapat mempengaruhi cara berpikir, bersikap dan bertindak dalam kaitannya dengan kehidupan pribadi dan sosial. Dalam hal ini dakwah Islam akan senantiasa dihadapkan oleh kenyataan realitas sosial yang mengitarinya. Maka untuk menyikapi hal tersebut, dakwah Islam paling tidak diharapkan berperan dalam dua arah. Pertama, dapat memberikan out put terhadap mesyarakat dalam arti memberikan dasar filosofi, arah dan dorongan untuk membentuk realitas baru yang lebih baik. Kedua, dakwah Islam harus dapat mengubah visi kehidupan sosial dimana sosio kultural yang ada tidak hanya dipandang sebagai suatu kelaziman saja, tetapi juga dijadikan kondusif bagi terciptanya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.[10]

Di atas telah dikemukakan bahwa kegiatan dakwah pada hakikatnya adalah kegiatan komunikasi yang spesifik atau khusus. Spesifik karena pesan-pesan yang disampaikan adalah mengenai ajaran Islam. efektivitas dakwah dapat dilihat dari apakah suatu proses komunikator (da'i / subyek dakwah) dapat sampai dan diterima komunikan (mad'u / subyek dakwah), sehingga mengakibatkan perubahan perilaku komunikan. Perubahan perilaku tersebut meliputi aspek-aspek pengetahuan, sikap dan perbuatan komunikan yang mengarah atau mendekati tujuan yang ingin dicapai proses komunikasi tersebut. Dan dalam kaitan dakwah, maka efektivitas dakwah tercermin pada sejauh mana obyek dakwah (pada dataran individu) mangalami perubahan, dalam hal makin lengkap dan benarnya akidah, akhlak, ibadah dan mu'amalahnya. Sedangkan pada dataran masyarakat, efektivitas tersebut dapat tercermin pada iklim sosial yang makin memancarkan syi'ar Islam, dan makin mendekatnya norma sosial pada nilai-nilai Islam atau aturan hidup menurut Islam.

Singkat kata, ada dua hal yang amat menentukan efektivitas proses komunikasi (dakwah), yaitu, a) apakah pesan yang disampaikan komunikator sampai (didengar, dilihat, dirasakan dan difahami) oleh komunikan, dan b) kalau memang sampai, apakah pesan tersebut "diterima" (disetujui dan disajikan dasar tindakan/perbuatan) sehingga menimbulkan perubahan pada diri komunikan.[11]

Dari uraian ini dapat diketahui bahwa kondisi atau faktor yang mempengaruhi sampai dan diterimanya pesan oleh komunikan akan amat menentukan efektivitas komunikasi dakwah. Hal-hal yang menentukan sampai tidaknya pesan pada umumnya berkaitan dengan masalah strategi (model komunikasi atau dialog apa, metode yang digunakan, media yang dipakai dan sebagainya), sementara hal-hal yang menentukan diterima tidaknya pesan pada umumnya berkaitan dengan isi atau substansi pesan yang tentunya disesuaikan dengan situasi dan kondisi objek.

Tawaran Strategi Dakwah
Masalah strategi ditentukan oleh kondisi obyektif komunikan dan keadaan lingkungan pada saat proses komunikasi tersebut berlangsung. Dalam kegiatan dakwah, maka hal-hal yang mempengaruhi sampainya pesan dakwah ditentukan oleh kondisi obyektif obyek dakwah dan kondisi lingkungannya dengan demikian maka strategi dakwah yang tepat ditentukan oleh dua faktor tadi. Sekedar contoh: antara orang desa dan kota tentu berbeda metode penyampaian pesan yang dipakai. Demikian pula antara petani, pegawai, mahasiswa, sarjana, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua, wanita, buruh, orang miskin dan orang kaya dan lain sebagainya.

Sedangkan masalah isi atau substansi pesan ditentukan oleh seberapa jauh relevansi atau kesesuaian isi pesan tersebut dengan kondisi subyektif komunikan, yaitu "needs" (kebutuhan) atau permasalahan mereka. Dalam dakwah perlu diketahui kebutuhan apa yang mereka rasakan, dan seberapa jauh pesan dakwah dapat menyantuni kebutuhan dan permasalahan tersebut. Relevansi antara isi pesan dakwah dengan kebutuhan tersebut hendaknya diartikan sebagai ketersantunan yang proporsional, artinya pemecahan masalah atau pemenuhan kebutuhan yang tidak asal pemenuhan, tetapi yang dapat mengarahkan atau lebih mendekatkan obyek dakwah pada tujuan dakwah itu sendiri, dan bukan sebaliknya. Untuk itu maka pengolahan pesan dakwah dari sumbernya (al-Qur'an dan Sunnah Rasul) akan sangat menentukan.

Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan relevansi tersebut, maka baiknya dikemukakan beberapa contoh. Bagi petani, bagaimana bertani yang baik sehingga hasil pertaniannya meningkat dan bagaimana peningkatan tersebut sekaligus merupakan bagian dari ibadahnya kepada Allah. Demikian pula bagi buruh, sehingga peningkatan mutu kerjanya sama dengan mutu ibadahnya. Hal ini akan mendorong mereka untuk lebih memahami bagaimana beribadah dengan baik akan membantu mereka untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. Sudah barang tentu da'i yang bertugas di kalangan buruh atau petani atau lainnya haruslah mereka yang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai dunia buruh dan tani.
Dalam hal ini, khutbah atau tabligh perlu disesuaikan dnegan persoalan buruh dan petani. Di samping itu perlu dilakukan kegiatan yang lebih konkret seperti latihan keterampilan kerja, pemilihan bibit dan pupuk, sehingga mereka merasa diperhatikan. Tak lupa juga masalah bagaimana memasarkan hasil tani. Lapangan kerja apa saja yang sedang dibutuhkan dan dagang apa saja yangsedang laku dan seterusnya.

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa hal-hal yang menentukan model pendekatan dakwah dapat diperhatikan unsur-unsur berikut:[12]
  1. Kondisi obyektif (ciri-ciri) obyek dakwah.
  2. Kondisi subyektif (kebutuhan, persoalan yang mereka hadapi dan sebagainya)
  3. Faktor lingkungan dakwah
Untuk menapaki uraian tersebut, diajukan gagasan awal mengenai strategi dakwah, sebagai berikut:
  1. Peninjauan kembali pendekatan dakwah dengan upaya sentral perencanaan dakwah yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah (problem solving oriented)
  2. Pergeseran medan dakwah (model komunikasi dakwah) konvensional, yaitu tabligh dalam makna sempit menjadi dakwah yang 'multi dialog' (dialog amal, dialog seni, dialog intelektual, dialog budaya).
  3. Perimbangan antara dakwah bersekala massal menjadi dakwah personal atau dakwah kelompok yang lebih dialogis.
  4. Perlunya perhatian dan pengembangan yang serius lembaga-lembaga dakwah, terutama majlis tabligh, pada fungsi-fungsi perencanaan dan pengelolaan.
  5. Perlu dilakukan pengkajian yang mendalam mengenai (a) ciri-ciri dan permasalahan yang dihadapi objek dakwah (kondisi obyektif dan subyektif), serta (b) kondisi lingkungan, dalam rangka mengembangkan strategi dakwah yang tepat di masing-masing daerah dan kelompok umat tertentu. Untuk itu maka penelitian obyektif dan lingkungan dakwah merupakan langkah yang amat tepat.
  6. Perlu dikembangkan mekanisme pengorganisasian yang lebih profesional, dengan pemilahan tudas yang jelas antar subyek dakwah (da'i, perencana dan pengelola kegiatan dakwah)
  7. Perlunya pengembangan nilai-nilai saintifik Islam dan keilmuan yang interdisipliner atau pengembangan pendekatan objektivasi dan subjektivasi. Dengan pendekatan ini berarti dilakukan interpretasi dienul-Islam secara kreatif proporsional, dikaitkan dengan kehidupan manusia, alam dan sejarah.
  8. Melakukan pendekatan positif konstruktif terhadap objek dakwah yang 'abangan', dengan menghilangkan 'jarak' psikologis maupun budaya yang ada.
  9. Mengembangkan sistem informasi yang mempu menjangkau umat secara luas dan menumbuhkan komunikasi yang efektif.
  10. Peran pembawa "kabar dari langit" agar dapat mengarifi realitas untuk mentransformasikan nilai, sehingga "dimensi langit suci" lebih dapat dibumikan untuk dipahami oleh manusia secara sadar dan bertaha, di samping melihat tipologi masyarakat yang dihadapinya.

Penutup
Dalam uraian di atas, dapat kita awang-awang dalam pikiran kita bahwa kata "dakwah" mengacu pada transformasi nilai-nilai Islam yang dititik beratkan pada sebuah perjalanan "proses"nya. Dalam tahap berikutnya, dakwah memiliki perluasan makna yakni aktivitas yang berorientasi pada pengembangan masyarakat muslim, antara lain dalam bentuk pengembangan kesejahteraan sosial. Maka untuk sampai kepada tujuan kesejahteraan sosial, sejatinya metode dakwah konvensional harus berani "banting setir", artinya harus berani mengimbangi dakwah secara retorika (da'wah bi al-lisan) dengan dakwah perbuatan (da'wah bi al-hal), mengimbangi dakwah yang monologis dengan dakwah dialogis, karena bagaimanapun, sejarah membuktikan bahwa dakwah yang dilakukan dengan perbuatan atau amal akan lebih efektif jika dibandingkan dengan hanya sebatas retorika-apologis.[13]

Selain itu, dalam perkembangan dakwah Islam selanjutnya semestinya tidak hanya dipahami sebagai transformasi nilai yang kadang terkesan sebagai pengandaian struktural atas-bawah (antara da'i dan mad'u) saja dalam penyampaiannya, tetapi pengandaian hubungan itu secara fungsional, artinya, lebih kepada model bottom up daripada top down. Karena itu, dalam hubungan fungsionalnya, ada semacam strategi pola dan gaya penyampaian secara dialektik. Di situlah sesungguhnya keunikan dakwah yang mempunyai pertautan erat dengan "strategi".

Sumber Bacaan
Asy'arie, Musa, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI, 1999

Dermawan, Andi (ed.), Metodologi Ilmu Dakwah. Yogyakarta: LESFI, 2002

Fakhry, Majid, The Genius of Arab Civilization, Canada: MIT. Press, 1983

Hidayat, Komaruddin, Wahyu di Langit, Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban di Panggung Sejarah. Jakarta: Paramadina, 2003

Mulkhan, Abdul Munir, Ideologisasi Gerakan Dakwah: Episod Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir. Yogyakarta: Sipress, 1996

Muriah, Siti, Metodologi Dakwah Kontemporer, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000

Shihab, M. Quraish, Dr., Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 2002
_____________________________
[1] Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit, Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban di Panggung Sejarah. (Jakarta: Paramadina, 2003). hlm. 203-204
[2] Abdul Munir Mulkhan , Ideologisasi Gerakan Dakwah: Episod Kehidupan M. Natsir & Azhar Basyir. (Yogyakarta: Sipress, 1996). hlm. 205
[3] H. Sukriyanto, "Filsafat Dakwah" dalam Andi Dermawan (ed.), Metodologi Ilmu Dakwah. (Yogyakarta: LESFI, 2002). hlm. 8
[4] Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. (Bandung: Mizan, 2002). hlm. 194
[5] lihat QS. Ali Imran (3): 159
[6] lihat QS. Ali Imran (3): 104 dan 110
[7]Andy Dermawan, "Landasan Epistemologis Ilmu Dakwah" dalam Andy Dermawan (ed.), Metodologi Ilmu Dakwah. (Yogyakarta: LESFI, 2002). hlm. 56
[8]Pada dasarnya hakikat berfikir itu adalah otonom. Artinya, kebebasan berpikir tidak sama dengan kebebasan berbuat, selain bebas dan radikal ia juga berada dalam dataran makna. Ke
bebasan berpikir itu : 1) tidak ada kekuasaan yang dapat menghalangi berpikir, 2) tidak ada kekuasaan yang bisa mengatur, 3) tidak ada yang haram untuk dipikirkan, 4) tidak ada sanksi moral, 5) sifatnya spiritual, 6) ruang lingkupnya dinamis, 7) bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Penjelasan lebih lanjut lihat Musa Asy'arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta: LESFI, 1999), hlm. 1-3
[9] Secara konseptual, kajian kitab suci dan kenabian malahirkan ilmu agama, sedangkan kajian terhadap alam semesta melahirkan ilmu alam dan ilmu pasti termasuk di dalamnya ilmu humaniora dan kajian terhadap ayat-ayat Tuhan yang dilakukan pada tingktan makna, yang berusaha mencari hakikat dengan menggunakan nalar dan mata batinnya, melahirkan ilmu filsafat. Ilmu dipakai untuk memecahkan persoalan-persoalan teknis, filsafat memberikan landasan nilai-nilai dan wawasan yang menyeluruh, sedangkan agama mengantarkan kepada realitas pengalaman spiritual, memasuki dimensi ilahiyah. Para filosof muslim yang menggunakan filsafat adalah untuk mempelajari konsep-konsep al-Qur'an. lihat Majid Fakhry, The Genius of Arab Civilization, (Canada: MIT. Press, 1983), hlm. 58
[10] Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), hlm. 11-12

Sumber Sumber Dakwah

SUMBER-SUMBER DAKWAH

BAHAN-BAHAN DAKWAH

Salah satu pencerahan yang dibawa oleh Islam bagi kemanusiaan adalah pemikiran secara ilmiah, masyarakat Arab dan Timur tengah pra Islam tidak memperdulikan persoalan- persoalan mengenai alam semesta, bagaimana alam tercipta dan bagaimana alam bekerja, maka dari sinilah mereka belajar merenungi pertanyaan-pertanyaan ini dan untuk mencari jawabannya tentang itu semua mereka merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits-hadits nabi. Didalam Al Qur’an, Allah memerintahkan memikirkan bagaimana langit dan bumi tercipta, cara fikir ini menggerakkan bangkitnya ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam. Ini adalah pengembangan ilmu pengetahuan yang istimewa dalam sejarah dunia, terutama tentang alam semesta.

Baghdad menjadi ibukota ilmu pengetahuan dalam imperium Islam selain ibu kota pemerintahan, ilmuan, filusuf dan para peneliti berkumpul dibaghdad dari keempat penjuru dunia Islam, dan bertemu di baitul Hikmah (pusat pengkajian ilmu pengetahuan) dikala itu yang terkenal disana untuk mengungkapkan rahasia alam semesta yang Allah ciptakan.

Kesadaran para ilmuan muslim yang bersumber dari Al Qur’an memicu pencapaian terbesar dalam ilmu pengetahuan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, sifat lain yang diajarkan oleh Al Qur’an kepada kaum muslim adalah keterbukaan fikiran, yang memungkinkan mereka mendapatkan ilmu pengetahuan dari peradaban lain tanpa prasangka.

Karya-karya kaum muslimin berisi jumlah besar penelitian, pengamatan, percobaan dan perhitungan. Sebagai cotoh, sistem desimal yang sekarang digunakan diseluruh dunia dikembangkan oleh ahli matematika muslim, dan juga ilmuan muslim memandang sangat penting pengamatan dibidang astronomi, sedangkan astronomi modern dikembangkan dari sistem mereka, ilmuan muslim juga menghitung peredaran bulan mengitari bumi dan mencatat rumus matematikanya, Aljabar dan trigonometri adalah temuan pakar matematika muslim. Karya-karya arsitektur yang mengagumkan di empat penjuru Islam dimungkinkan oleh perangkat ilmiah ini

Sejumlah prestasi kaum muslimin yang paling memukau adalah dibidang kedokteran, dimasa ketika orang eropa menganggap penyakit disebabkan oleh roh jahat, perawatan bukanlah sebuah kata yang dapat ditemukan dalam kosa kata pemikiran orang-orang Eropa, dilain pihak melalui penelitian mendalam, ilmuan muslim menyimpulkan Bahwa penyakit disebabkan oleh makhluq yang terlalu kecil untuk dilihat, dan bahwa pasien harus dirawat ditempat terpisah dari yang lainnya yang masih sehat, dari sinilah rumah sakit modern pertama didunia didirikan, pasien dirawat dan ditampung secara ilmiah dalam kamar-kamar tepisah tergantung jenis penyakit yang mereka derita. Pasien yang menderita penyakit jiwa mereka mendapatkan terapi musik ketika pada masa Eropa, dan mereka menganggap orang-orang yang sakit jiwa sebagai hamba setan dan harus dibakar hidup-hidup.

Pengamatan dokter-dokter muslim terhadap anatomi manusia sangatlah tepat sehingga hasilnya dijadikan buku-buku rujukan di sekolah-sekolah kedokteran Eropa selama lebih dari enam abad silam. Dokter-dokter Islam juga mengukur denyut nadi pasien ketika sedang memeriksa mereka, dan ini dilakukan berabad-abad sebelum orang eropa tahu tentang peredaran darah, wanita melahirkan dalam keadaan yang paling hieginis yang dimungkinkan masa itu, dilihat dari benuk peralatan yang ada menunjukan betapa majunya peradaban dalam bidang kedokteran.

Pada masa itu wanita juga dididik disekolah-sekolah ilmu pengetahuan didunia Islam dan turut bersumbang untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmuan muslim menemukan sejumlah penemuan-penemuan yang sangat penting dalam bidang optik dan cahaya. Orang yang pertama yang meggambarkan anatomi mata dengan sangat terperinci adalah ahli optik yaitu Ibnu Al Haitsam, penelitiannya yang diakui dalam bidang lensa membuka jalan bagi penemuan kamera. Dokter-dokter muslim juga menemukan penyebab kerusakan penglihatan dan melakukan operasi katarak yang berhasil beberapa abad sebelum Eropa.

Warisan ilmu pengetahuan Islam menjadi sumber pencerahan Eropa dimulai pada abad ke-15, ilmuan nasrani melakukan pengembangan ilmu pengetahuan Eropa dengan ilmu pengetahuan yang mereka dapat dari rekan rekan muslim mereka, cahaya Islam menerangi mereka pula.

Maka dari sini kita dapat melihat dengan jelas bahwa Islam merupakan agama yang sangat maju dalam bidang ilmu pengetahuan, jadi Islam bukanlah sebatas ibadah dan shalat saja tetapi Islam adalah kaffah (menyeluruh).

Menurut Ali Syariati, Al-Qur’an merupakan firman Allah yang sangat komprehensif, yang menjadi sumber inspirasi bagi manusia dalam semua lini kehidupan. Hal ini dapat dilihat dari klasifikasi al-Qur’an yang dibuat olehnya.

NO KLASIFIKASI SURAT JUMLAH SURAT PROSENTASE
1 Fenomena Alam dan Materi 32 26.66 %
2 Aqidah dan Aliran Pemikiran 29 24.14 %
3 Sosial dan Politik 27 22.5 %
4 Sejarah dan Filsafat Sejarah 17 14.14 %
5 Perilaku dan Akhlak 4 3.3 %
6 Masalah Harta 4 3.3 %
7 Ibadah dan Syiar Agama 2 1.7 %

Sumber : Ali Syariati, 1995 : 35


AL-QUR’AN DAN HADITS ADALAH SUMBER ILMU PENGETAHUAN

Prinsip tauhid di dalam Islam, menegaskan bahwa semua yang ada berasal dan atas izin Allah SWT. Dia-lah Allah SWT yang maha mengetahui segala sesuatu. Konsep kekuasaan-Nya juga meliputi pemeliharaan terhadap alam yang Dia ciptakan. Konsep yang mengatakan bahwa Allah SWT lah yang mengajarkan manusia disebutkan dalam Al-Quran. (Q.S. AL-Baqarah: 31,239. Q.S. AR-Rahman : 2 & Q.S.Al-alaq 5-4)

Di dalam ayat lain 5:1-4 disebutkan bahwa “Dia telah mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia dan mengajarinya penjelasan (bayan)”

Wahyu, yang diterima oleh semua Nabi SAW berasal dari Allah SWT, merupakan sumber pengetahuan yang paling pasti. Namun, Al-Quran juga menunjukkan sumber-sumber pengetahuan lain disamping apa yang tertulis di dalamnya, yang dapat melengkapi kebenaran wahyu. Pada dasarnya sumber-sumber itu diambil dari sumber yang sama, yaitu Allah SWT, asal segala sesuatu. Namun, karena pengetahuan yang tidak diwahyukan tidak diberikan langsung oleh Allah SWT kepada manusia, dan karena keterbatasan metodologis dan aksiologis dari ilmu non-wahyu tersebut, maka ilmu-ilmu tersebut di dalam Islam memiliki kedudukan yang tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang langsung diperoleh dari wahyu. Sehingga, di dalam Islam tidak ada satupun ilmu yang berdiri sendiri dan terpisah dari bangunan epitemologis Islam, ilmu-ilmu tersebut tidak lain merupakan bayan atau penjelasan yang mengafirmasi wahyu, yang kebenarannya pasti. Di sinilah letak perbedaan epistemologi sekuler dengan epistemologi Islam.

Sumber-sumber pengetahuan lain selain yang diwahyukan langsung misalnya fenomena alam, psikologi manusia, dan sejarah. Al-Quran menggunakan istilah ayat (tanda) untuk menggambarkan sumber ilmu berupa fenomena alam dan psikologi (2:164, 42:53).

Untuk sumber ilmu berupa fenomena sejarah, Al-Quran menggunakan istilah ‘ibrah (pelajaran, petunjuk) yang darinya bisa diambil pelajaran moral (12:111).


Sebagai akibat wajar dari otoritas ketuhanannya, al-Quran, di samping menunjukkan sumber-sumber pengetahuan eksternal, ia sendiri merupakan sumber utama pengetahuan. Penunjukkannya terhadap fenomena alam, peristiwa sejarah, metafisis, sosiologis, alami dan eskatologis mesti benar, apakah secara literal atau metaforis. Kaum muslimin mengambil sIStem dan subsistem pengetahuan dan kebudayaan dari al-Quran. Dokumen paling otentik tentang subyek ilmu pengetahuan (di mana al-quran sebagai katalisator) dapat ditemukan dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran karya Badruddin al-Zarkasyi.

Di dalam Islam, pencarian pengetahuan oleh seseorang bukanlah sesuatu yang tidak mungkin, tetapi harus, dan dianggap sebagai kewajiban bagi semua Muslim yang bertanggung jawab. Kedudukan ini berbeda dengan sikap skeptis Yunani dan Sophis, yang menganggap pengetahuan hanya imajinasi kosong.

Dalam bahasa Arab, pengetahuan digambarkan dengan istilah al-ilm, al-ma’rifah dan al-syu’ur. Namun, dalam pandangan dunia Islam, yang pertamalah yang terpenting, karena ia merupakan salah satu sifat Allah SWT. Al-ilm berasal dari akar kata l-m dan diambil dari kata ‘alamah, yang berarti “tanda”, “simbol”, atau ”lambang”, yang dengannya sesuatu itu dapat dikenal. Tapi alamah juga berarti pengetahuan, lencana, karakteristik, petunjuk dan gejala.. Karenanya ma’lam (amak ma’alim) berarti petunjuk jalan, atau sesuatu yang menunjukkan dirinya atau dengan apa seseorang ditunjukkan. Hal yang sama juga pada kata alam berarti rambu jalan sebagai petunjuk. Di samping itu, bukan tanpa tujuan al-Quran menggunakan istilah ayat baik terhadap wahyu, maupun terhadap fenomena alam. Pengertian ayat (dan juga ilm, alam, dan ’alama) di dalam al-Quran tersebut yang menyebabkan Nabi SAW mengutuk orang-orang yang membaca ayat 3:190-195 yang secara jelas menggambarkan karakteristik orang-orang yang berfikir, mambaca, mengingat ayat-ayat Allah SWT di muka bumi tanpa mau merenungkan (makna)nya.


Sifat penting dari konsep pengetahuan dalam al-Quran adalah holistik dan utuh (berbeda dengan konsep sekuler tentang pengetahuan). Pembedaan ini sebagai bukti worldview tauhid dan monoteistik yang tak kenal kompromi. Dalam konteks ini berarti persoalan-persoalan epistemologis harus selalu dikaitkan dengan etika dan spiritualitas. (Dalam Islam) ruang lingkup persoalan epistemologis meluas, baik dari wilayah (yang disebut) bidang keagamaan dengan wilayah-wilayah (yang disebut sekuler)., karena worlview Islam tidak mengakui adanya perbedaan mendasar antara wilayah-wilayah ini. Adanya pembedaan semacam itu akan memberi implikasi penolokan hikmah dan petunjuk Allah SWT, dan hanya memberi perhatian dalam wilayah tertentu saja. Wujud Allah SWT sebagai sumber semua pengetahuan, secara langsung meliputi kesatuan dan integralitas semua sumber dan tujuan epistemologis. Ini menjadi jelas jika kita merenungkan kembali istilah ayat yang menunjuk pada ayat-ayat al-Quran dan semua wujud di alam semesta.

Konsep integralitas pengetahuan telah diuraikan al-Ghazali dalam kitabnya Jawahir al-Quran, di mana ia menegaskan bahwa ayat-ayat al-Quran yang menguraikan tentang bintang dan kesehatan, misalnya, hanya sepenuhnya dipahami masing-masing dengan pengetahuan astronomi dan kesehatan. Ibnu Rusyd dalam fasl al-maqal, juga memberikan penjelasan keterkaitan antara penafsiran keagamaan dan kefilsafatan dengan mengutip beberapa ayat al-Quran yang mendorong manusia meneliti dan menggambarkan kajian penciptaan langit dan bumi (7:185, 3:191, 88:17-18).

Dengan hal yang sama, al-Quran juga mendorong manusia melakukan perjalanan di bumi untuk mempelajari nasib peradaban sebelumnya. Ini membentuk kajian sejarah, arkeologi, perbandingan agama, sosiologi dan sebagainya secara utuh.

Dalam 41:53, secara kategoris, al-Quran menegaskan bahwa ayat-ayat Allah SWT di alam semesta dan di kedalaman batin manusia merupakan bagian yang berkaitan dengan kebenaran wahyu, dan menegaskan kecocokan dan keutuhan yang saling terkait. Namun, keutuhan dan kesatuan cabang-cabang pengetahuan ini tidak berarti bahwa disiplin-disiplin itu sama, atau tidak ada prioritas diantara mereka. Pengetahuan wahyu dalam konsep Islam adalah lebih utama, unik karena berasal langsung dari Allah SWT dan memiliki manfaat yang mendasar bagia alam semesta. Semua pengetahuan lain yang benar harus membantu kita memahami dan menyadari arti dan jiwa pengetahuan Allah SWT di dalam al-Quran untuk kemajuan individu dan masyarakat.
 
sumber internet :http://mddakwah2010-isnaini.blogspot.com/2010/12